Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.
Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia, mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia, mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.
Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.
Empirisme
Empirisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Dengan empirisme aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Empirisme juga memiliki kekurangan yaitu ia belum terukur. Empirisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum.[6] Seorang empirisme biasanya berpendirian, kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera.
Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil..
b. ndera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c. Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
d. Indera dan objek sekaligus. Empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil..
b. ndera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c. Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
d. Indera dan objek sekaligus. Empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
Kritisisme
Kritisisme adalah menolak paham salinan yang menyangkut penerapan dan pengetahuan berdasarkan alasan-alasan.
1) Bagi Descartes tidak ada satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu.Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu.Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir.Aku berpikir pasti ada dan benar.Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku.Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Descartes memulai filsafat dari metode.Metode keraguan itu bukanlah tujuannya.Tujuan metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan.Metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian.Ia tidak pernah meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan yang berada dibalik keraguan itu, dan menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian dibalik sesuatu. Pemikiran fondasi aku yang berpikir itu pantas dijadikan dasar filsafat karena benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu.
2) Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar.
1) Bagi Descartes tidak ada satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu.Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu.Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir.Aku berpikir pasti ada dan benar.Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku.Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Descartes memulai filsafat dari metode.Metode keraguan itu bukanlah tujuannya.Tujuan metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan.Metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian.Ia tidak pernah meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan yang berada dibalik keraguan itu, dan menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian dibalik sesuatu. Pemikiran fondasi aku yang berpikir itu pantas dijadikan dasar filsafat karena benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu.
2) Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar.
Secara objektif kebenaran dapat dikembalikan kepada objek materi, keluasan dan kedalam objek forma, derajat dan system yang berlaku atau yang ada di dalamnya.Pertama, mempertimbangkan objek materinya, dimana filsafat mempelajari segala sesuatu yang ada.Kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat umum-universal, tidak terkait dengan jenis-jenis objek tertentu.Kedua, ditinjau dari objek formanya, kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat metafisis, dalam arti meliputi ruang lingkup material-khusus sampai kepada hal-hal yang abstrak-universal.Ketiga, dicermati metode-metode yang digunakan oleh filsafat, sifat kebenaran ilmu pengetahuan filsafat yang abstrak-metafisis semakin jelas.Karena metode kefilsafatan itu terarah dalm mencapai pengetahuan yang esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada sesuatu dalam keterkaitan yang utuh (kesatuan).
Kebenaran berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Kebenaran berdasarkan teori korespondensi, jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Teori koherensi dan teori korespondensi keduanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi.
Kebenaran berdasarkan teori pragmatis, suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kriteria kebenaran.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu.
Kebenaran menurut rasionalisme , para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran (dan, ipso facto, pengetahuan) mengandung makan mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunujuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Kebenaran menurut positivisme atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia, atau dalam hal ini maka pernyataan ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.
Kebenaran berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Kebenaran berdasarkan teori korespondensi, jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Teori koherensi dan teori korespondensi keduanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi.
Kebenaran berdasarkan teori pragmatis, suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kriteria kebenaran.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu.
Kebenaran menurut rasionalisme , para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran (dan, ipso facto, pengetahuan) mengandung makan mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunujuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Kebenaran menurut positivisme atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia, atau dalam hal ini maka pernyataan ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.
